Edukasi Update, Surabaya — Apa jadinya jika mahasiswa muda merancang peta masa depan fashion dengan sudut pandang kritis dan kreatif? Mahasiswa Program Studi Fashion Business Universitas Ciputra Surabaya menjawabnya lewat proyek kelas Fashion Trend Analysis yang memadukan riset mendalam, pemahaman budaya, hingga eksperimen visual inovatif.
Lewat pendekatan analitis yang tajam, para mahasiswa tak hanya mengamati tren global, tapi juga menelusuri makna sosial dan arah keberlanjutan industri fashion. Salah satu kelompok tampil mencolok dengan tema Expressive Maximalism, sebuah tren yang menekankan kebebasan berekspresi melalui warna – warna mencolok, tumpukan aksesori, dan permainan tekstur. Mereka membaginya menjadi tiga mikrotren: Hyper-accessorizing, Visual Overload, dan Textural Play, masing – masing merepresentasikan gaya yang berani dan tidak konvensional.
“Tren bukan sekadar soal gaya berpakaian, tapi jendela untuk memahami dinamika budaya, teknologi, dan psikologi masyarakat,” jelas dosen pengampu mata kuliah, Christina Tanujaya, B.Des., MBA. “Saya bangga mahasiswa mampu menghubungkan expressive maximalism dengan konteks sosial dan digital masa kini.”
Antusiasme mahasiswa sangat terasa dalam proyek ini. “Gaya expressive maximalist itu soal tampil tanpa takut, penuh warna dan statement yang menunjukkan siapa kita,” ujar Anggita, salah satu anggota tim. Sementara Jacquelline menyebut tren ini sebagai “kanvas hidup”, tempat setiap outfit menjadi cerita unik yang mencerminkan identitas personal.
Di sisi lain, kelompok lain mengeksplorasi dua tren dengan pendekatan yang lebih kontemplatif: Repair-Centric Aesthetic dan Regenerative Fashion Future. Jika Repair-Centric menyoroti keindahan dalam ketidaksempurnaan melalui teknik tambal-sulam dan sentuhan tradisional, maka Regenerative Fashion menekankan efisiensi material, kolaborasi komunitas, dan desain adaptif terhadap gaya hidup masa depan.

Mengusung Fashion Ramah Lingkungan di Era Modern
Oleh: Kellen, Putri, Alea, Nadine, Kayla, Angela, dan Caresse (dari kiri ke kanan)
Visual presentasi mereka menggugah. Mahasiswa memadukan narasi dan busana secara sinematik: dari denim tambal-sulam yang mengekspresikan daya tahan dan warisan masa lalu, hingga pakaian putih minimalis berbahan daur ulang dan hasil rajutan tangan dengan simbol harmoni antara manusia dan alam.
“Proyek ini sangat menyenangkan dan membuka wawasan kami. Fashion bukan lagi soal tampil cantik, tapi juga makna, nilai, dan tanggung jawab sosial,” ujar Putri Alyssa Halim. Alea Maritza Pramatya menambahkan, “Trend analysis memperluas perspektif kami akan masa depan fashion yang lebih sadar, relevan, dan manusiawi.”
Lebih dari sekadar tugas akademik, proyek ini menjadi ruang aktualisasi sekaligus eksplorasi masa depan fashion yang lebih reflektif dan berdampak. Mahasiswa tidak hanya mempelajari tren secara teori, tetapi juga membangun narasi visual yang kontekstual dan inspiratif. Dengan bekal analisis kritis dan kepekaan terhadap perubahan, para mahasiswa Universitas Ciputra siap melangkah sebagai creative entrepreneurs yang membawa angin segar bagi industri mode, baik di tingkat nasional maupun global.